21 Juli, 2008

Memilih Sekolah, Perlu hati-hati !!


Almamater. bekasi kota. Pelajar pelajar sekolah itu tampak serius mendengarkan presentasi dari seorang penjaga stand sebuah lembaga pendidikan dalam pameran pendidikan di pusat perbelajaan (Bekasi Cyber Park) yang digelar baru-baru ini. Mereka ada yang datang ditemani orang tua, ada juga bersama teman-teman sekolahnya.

Penjaga stand itu begitu piawainya mempromosikan fasilitas dan kelebihan yang ada dilembaga pendidikan internasional tersebut. Tak sedikit orang tua dan siswa yang terkesan dengan promosi itu, dan mulai menanyakan persyaratan untuk bisa mengikuti pendidikan dilembaga tersebut.

Sementara diluar sana, spanduk iklan mulai tertebar menghiasi tempat-tempat strategis di Pusat kota dan jalan-jalan protocol daerah. Surat kabar pun mulai dihiasi iklan penerimaan siswa dan mahasiswa baru.Kian meningkatnya kesadaran masyarakat akan mutu pendidikan yang baik, membuat sektor pendidikan kini telah menjadi lahan bisnis yang menarik.

Hal ini, membuat penyelenggara pendidikan berlomba-lomba menawarkan program menarik, untuk bisa menjaring siswa, akibatnya peta persaingan menjadi kian ketat.Banyak ragam yang dilakukan para penyelengara pendidikan swasta dalam menjaring siswa, mulai dari menawarkan program-program unggulan hingga fasilitas yang dimiliki seperti laboratorium bahasa dan komputer serta kelas ber-AC namun umumnya, pemasangan iklan pendaftaran siswa/ mahasiawa baru jauh sebelum ujian akhir semester dan ujian seleksi penerinaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN). Pendaftaran biasanya dilakukan dengan sistem gelombang, mulai dari gelombang I, II, dan III, dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin siswa. Mereka yang mendaftar pada gelombang pertama biasanya akan mendapat keringanan berupa pemotongan biaya ujian masuk dan administrasi sekolah/kuliah.

Pada gelombang terakhir mungkin tak ada lagi fasilitas kemudahan karena sudah mendekati masa ujian masuk. Umumnya orang tua mendaftar lebih awal walaupun harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal karena takut anak tidak dapat duduk, apalagi kalau sekolah /universitas favorit yang tentu saja persaingan untuk bisa masuk sangat ketat.

Mengingat pendaftaran berlangsung sebelum ujian penerimaan di PTN, orang tua harus rela kehilangan dana yang telah disetorkan untuk pendaftaran di perguruan tinggi swasta (PTS) apabila anaknya diterima di PTN. Kebanyakan orang tua lebih memilih anaknya kuliah di PTN ketimbang PTS disamping biayanya lebih terjangkau dibanding PTS ternama, juga mutunya tak perlu diragukan.

Melihat ketatnya persaingan masuk di PTN, banyak orang tua yang pasrah dengan tidak mendaftarkan anaknya ikut ujian masuk PTN. Mereka tentu saja akan mendaftarkan anaknya di PTS pada golongan pertama dangan harapan akan mendapatkan keringanan.
Maraknya PTS dan sekolah swasta membuat peta persaingan kian ketat, itu mendorong terjadinya perang tarif. Untuk bisa bisa menjaring siswa di tengah persaingan yang ketat, mereka menawarkan potongan harga biaya administrasi serendah mungkin dan juga iming-iming kemudahan dan fasilitas menarik lainnya.

Perang diskon tak hanya berlangsung pada sekolah/Universitas swasta kelas menegah kebawah tapi juga sekolah/Universitas favorit dan unggulan. Dan tidak sedikit sekolah internasional mencoba cara ini untuk menjaring calon siswa.
Terkait biaya pendidikan, tetu saja akan disesuaikan dengan kredibilitas dan fasilitas yang dimilikinya. Semakin tinggi kredibilitas dari sekolah / Universitas, maka akan semakin mahal biaya pendidikan. Masyarakat punya banyak pilihan, yang tentunya harus disesuaikan dengan kemampuan jangan sampai besar pasak dari pada tiang.

Namun dalam mencari sekolah/Universitas, masyarakat hendaknya bersikap cermat dan hati-hati.jangan mudah terpaku dan tergiur dengan segala macam bentuk promosi yang mengklaim sebagai sekolah unggulan. Cari tahu keberadaan sekolah itu dengan mengorek informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber, sampai mendapatkan informasi yang akurat bahwa kualitas seimbang dengan nama besar yang disandang. Banyak sekolah yang menyandang nama besar sebagai sekolah unggulan, namun kualitasnya kian menurun karena sudah tergoda dengan kepentingan komersial.

Orang tua yang bijak tentu lebih mempertimbangkan faktor kualitas pendidikan ketimbang nama besar sekolah. Buat apa kita menyekolahkan anak dengan biaya tinggi hanya sekedar mencari setatus sosial kalau hasilnya tak mampu meningkatkan kecerdasan anak.

Ny. Dini mengaku tidak tergoda untuk memasukan anaknya ke sekolah unggulan, seperti banyak dilakukan tetangga di lingkungannya di Perumahan elite di Kemang Pratama, Bekasi. Walaupun sebenarnya dia memiliki cukup dana untuk memasukan putri sulungnya ke sekolah unggulan, dia memilih memasukan anaknya kesekolah umum. Alasannya, dengan belajar disekolah unggulan belum tentu anaknya bisa lebih cerdas dari mereka yang sekolah umum.

“Dulu sekolah tersebut memang bagus kualitasnya, tetapi setelah terkenal dan menjadi favorit mutu pendidikannya cenderung menurun karena sekolah itu kini lebih mementingkan sisi komersialnya,” kata ibu dari tiga orang anak.
Namun menurut karyawan sebuah surat kabar nasional ini, tidak semua sekolah favorit kualitasnya cenderung menurun. Untuk itu orang tua perlu lebih berhati-hati dalam memilih sekolah, tidak perlu tergiur dengan tawaran program unggulan maupun fasilitas menarik lainnya.

Menurunnya kualitas
Banyak publik yang menilai kualitas pendidikan di Indonesia semakin menurun. Hal itu membuat mereka yang mampu cenderung menyekolahkan anaknya keluar negeri ketimbang disini yang mutunya banyak diragukan.
Ini tidak terlepas dari sistem pendidikan di Indonesia yang kurang dapat mengembangkan mutu dalam proses pendidikannya, sehingga kurang mampu bersaing dalam era globalisasi. Mutu pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dibanding Negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Perkembangan pendidikan tinggi berstandar internasional di Malaysia, Thailand, dan Filipina adalah contoh ketertinggalan daya saing pendidikan Indonesia selama dekade terakhir ini.

Daya saing pendidikan Indonesia jauh dibawah Negara tetangga tak bisa maraknya siswa Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri dikhawatirkan akan melunturkan rasa nasionalisme mereka. Sebab gesekan budaya luar tak bisa di hindari lewat interaksi social.Namun baik Gani maupun Prof. Arief menjamin kekhawatiran seperti itu tak akan terjadi. Menurut Prof. Arief, bila sejak dini anak telah ditanamkan rasa nasionalisme, maka tidak akan ada pengaruh apa-apa walaupun telah bertahu-tahun belajar diluar negeri.
“salah satu tantangan pendidikan di era globalisasi adalah seberapa siapakah kita terhadap persaingan global mengesampingkan nasionalisme. Dengan globalisasi dan persaingan regional yang ketat, maka perlu dilakukan redefinisi mengenai sukses dalam pendidikan,” ucapnya.

Terkait kekawatiran lunturnya nasionalisme pelajar Indonesia yang belajar diluar, Gani melihatnya tak sejauh itu. Alasannya, orang tua mereka masih menetap di Indonesia dan mereka masih sering pulang ke tanah air untuk mengisi liburan.
“kecil sekali nasionalisme mereka akan terpengaruh karena masih mempunyai keterkaitan yang kuat dengan tanah airnya karena familinya masih disini,” ucapnya.

Namun terkadang begitu meyelesaikan studi dan kembali ketanah air, yang mereka hadapi jauh dari harapan. Ternyata tawaran pekerjaan di sini jauh lebih rendah dengan yang dijanjikan perusahaan asiang di Negara dia belajar. Akhirnya mereka lebih memilih pekerjaan disana yang jauh lebih menjanjikan. Tapi bagaimana pun mereka tetap menganggap Indonesia sebagai tanah kelahirannya dan sewaktu-waktu pasti akan kembali untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara. (Budi. S.Darma)

Tidak ada komentar: